Catatan Tahun 2020

Dear 2020….

            Tahun yang cantik.  Yang semula aku berharap segalanya berjalan lebih baik dari apapun yang terjadi di tahun 2019 yang telah begitu mengesankan bagiku. Meski begitu, sejak awal memang pertemuanku dengan 2020 sudah tak terlalu menyenangkan. Aku seolah dipaksa untuk bersiap padahal aku belum siap. Tanggung jawab yang besar, banyaknya kesulitan dan kebingungan yang harus kupecahkan sendiri, kesepian yang paling sepi, diremehkan seminggu sekali, rasanya benar-benar tidak mudah dijalani. Aku sempat ingin menyerah atas segalanya, sebelum akhirnya aku bertanya apa yang salah dari caraku menjalani hidup. Tapi, ketika perlahan aku mulai menemukannya, mencoba memahami makna kehidupan, belajar lihat dari sudut pandang lebih tepat, suatu hal yang tidak pernah kuduga sebelumnya keburu terjadi. Ya, siapa sangka, aku akan hidup di masa-masa pandemi?

            Suatu ketika, saat aku pulang kampung dan keesokan harinya harus kembali ke perantauanku saat ini, aku pernah berkhayal-Andaikan saja hari Sabtu bisa difotokopi lima rangkap. Aku memang sangat menyukai hari Sabtu yang kuhabiskan di rumah saja. Tapi, saat itu aku tahu bahwa khayalanku tak mungkin menjadi nyata. Hidup sebagai orang dewasa haruslah tegar, berani menghadapi kenyataan, dan sanggup memikul tanggungjawabnya seberat apapun itu, bukan begitu wahai semesta?. Kini… dunia bagiku mendadak terbalik. Aku tidak pernah membayangkan akan hidup di era di mana virus baru akan menginvasi bumi, hingga jutaan manusia harus dikurung di rumahnya. Dilarang sekolah, dilarang bekerja, dilarang bepergian kemana-mana. Tujuh hari dalam seminggu, seolah semuanya berganti nama menjadi hari Sabtu. Seolah semesta mengabulkan permintaan konyolku, tapi dengan cara yang tak pernah aku sangka sebelumnya. Lagi pula, masa yang disebut pandemic ini, terakhir terjadi seratus tahun lalu, dan di masa aku hidup, semua ini terjadi lagi. Ini seperti apa ya? Aku dan orang-orang di masa ini sedang hidup di sebuah masa yang akan ditulis dalam sejarah di masa depan. Tidak membanggakan memang, tapi rasanya langka saja.

            Aku sejujurnya agak tidak mau membahas sisi buruk dari pandemic ini, karena aku sudah makan berita-berita itu setiap hari. Jadi,aku akan membahas sisi yang tidak lebih buruknya terlebih dahulu. Pertama, semua orang di dunia akhirnya merasakan seperti apa rasanya menjadi introvert. Itu hal bagus, karena selama ini ekstrovert seolah adalah definisi normal, sedangkan introvert tidak. Sekarang, mereka yang beranggapan bahwa di rumah saja itu buruk setidaknya bisa mengerti cara panjang lain, dimana rumah menjaga mereka untuk tetap aman dan sehat. Karena aku juga introvert, aku sama sekali tidak kesulitan menjalani karantina di rumah saja. Aku jadi bersyukur. Mungkin introvert memang diciptakan untuk hal-hal semacam ini. Satu hal lagi, aku beruntung dan merasa sangat bersyukur sekali karena aku bisa menghabiskan masa karantina bersama keluarga di kampung halaman. Aku tahu bahwa tidak semua orang seberuntung aku. Ada yang bekerja atau menimba ilmu di ibukota bahkan luar negeri, yang notabene kadang aku merasa “kalah” dari mereka karena merantauku kurang jauh. Tapi, sekarang semuanya seolah terbalik. Aku bersyukur sekali Allah meletakkan rizkiku tidak jauh dari kota kelahiran, kota yang termasuk masih aman, kota yang masih terjangkau. Semua yang Allah tetapkan sekali lagi memanglah yang terbaik. Jujur, aku sama sekali tak bisa membayangkan betapa sulitnya bertahan di perantauan apalagi di luar negeri hanya sendirian di tengah pandemi yang berbahaya ini.

            Lalu dengan semua aktivitas yang nyaris semuanya terhenti ini, apakah semuanya di hidupku menjadi lebih baik? Beberapa mungkin ya, karena aku selalu dikelilingi manusia-manusia yang tak pernah lelah mengingatkan dan menemaniku. Tapi beberapa yang lain membuatku sepertu harus belajar lagi, sebenarnya masa karantina karena pandemic ini harus dijalani seperti apa? Apa iya harus terus-terusan produktif dan mengerjakan tugas juga kewajiban belajar lain? Apakah harusnya aku lebih santai seperti orang-orang diluar sana yang masih sempat membuat dalgona coffe dengan 400 kali adukan sendok? Apakah harusnya semua orang merenungi kesalahannya dan memperbanyak ingat mati, karena kalau diamati virus korona itu mirip seperti ajal, dimana seseorang tidak tahu kapan ia datang dan tak bisa menghindarinnya? Aku jujur masih bingung sejauh ini. Menyeimbangkan semua itu bukanlah hal yang mudah. Apalagi dengan tugas kuliah online yang bertumpuk, banyak, dan datangnya bergantian seperti ini. Yep, semoga aku segera menemukan formulasi yang tepat agar hidupku tentram di masa karantina.

            Meskipun banyak hal yang tidak seburuk itu, tapi tetap saja ada sisi di hatiku yang menginginkan pandemic ini segera berlalu. Kalau ingat perjuangan tenaga medis, pasien positif, orang yang kesulitan mencari nafkah, orang yang sakit, dan semua yang menderita karena virus itu, memang lebih baik semua ini segera berlalu saja. Aku berdoa semua yang terbaik buat mereka. Kita pasti bisa kan menjalani semua ini? Dan setelah semua ini berakhir dan kita masih diberi umur, kira-kira apa yang akan berubah?. Tapi yang jelas satu sih yang nggak akan berubah. Adalah dunia yang sifatnya fana dan sepele. Do you see it? Semua rencana manusia terbatalkan hanya karena partikel kecil ciptaan Allah yang masih diperdebatkan statusnya sebagai makhluk hidup. Dan... tetiba menyadari bahwa masa karantina ini tak seharusnya dihabiskan untuk hal-hal duniawi saja kan? Gimana kalau sekarang kita lagi dihukum tapi kita nggak sadar dan malah milih lanjut sibuk dengan urusan-urusan kita yang fana? Walahualam bishawab.



Hon Nurizza

Komentar