Tulisan
pertama di bulan Oktober ini, saya akan dedikasikan untuk membahas mengenai Quarter Life Crisis setelah sekian lama
saya tidak menuliskannya. Padahal kalau dipikir-pikir, umur masih on the way 25 tahun insya Allah dan crisis hampir tiap hari datang
menerjang. Sebagai prolog, saya akan bercerita mengenai seseorang yang saya
kenal. Orang itu adalah karyawan di bagian administrasi yang memang kerjaannya
banyak dan super sibuk. Saya mengenalnya sebagai seseorang yang baik dan ringan
tangan dalam membantu urusan orang lain. Saya kagum dong, karena jarang sekali
ada petugas bagian administrasi yang masih ramah, baik, dan senang memudahkan
urusan orang lain seperti dia. Tapi tidak lagi, karena saya lihat beberapa
bulan terakhir ia selalu mengeluh di status medsosnya. Entah karena pekerjaanya
yang tak kunjung habis lah, entah karena pekerjaannya “disulitkan” orang lain lah,
entah karena jodoh lah, entah karena yang lainnya lah. Pokoknya, kesannya
seperti statusnya tidak pernah lepas dari keluhan. Terus terang membuat yang
baca, paling tidak saya, mengerutkan dahi. Sampai akhirnya saya merasakan
sendiri apa yang kira-kira orang itu rasakan di hidupnya. Pekerjaan sulit dan
banyak, deadline berdekatan, ketakutan tidak bisa menjalankan amanah, khawatir
akan kegagalan? Ahahaha, emang enak, Nes?
Yeah, saya tidak akan mengisi
paragraf kedua ini dengan melanjutkan keluhan-keluhan saya. Buat apa? Palingan
bikin yang baca males. Tapi, saya akan lebih menjabarkan mengenai cara
menyikapi permasalahan ini dengan tepat, dimana cara-cara menyikapi yang akan
saya tuliskan ini saya peroleh dari orang tua saya dan salah seorang tokoh
ulama yang saya kagumi. Dengan harapan, kelak ketika saya lupa, saya bisa
segera back to the right way saat
baca tulisan saya sendiri atau semoga bisa membantu para pembaca sekalian yang
sedang merasakan apa yang saya alami. Ketika pekerjaanmu terasa terlalu berat,
terlalu sulit, terlalu menyita waktu dan tenaga, bagaimanakah cara menyikapi?
Pertama, kita harus menggambar
sebuah lingkaran besar di dalam pikiran kita dan memberinya nama dengan kata “Akhirat”.
Kita harus ingat kembali dan afirmasi ke diri sendiri kalau seluruh hidup kita
ini hanyalah untuk Allah. Bahkan, alasan terutama Allah menciptakan manusia
adalah untuk menyembahNya, menjadikan seluruh hidupnya untuk beribadah pada
Allah saja. Lalu di manakah letak dunia? Dunia kita simbolkan sebagai
lingkaran-lingkaran kecil yang letaknya di dalam lingkaran besar bernama
akhirat tadi. Mengapa? Karena semua aktivitas kita di dunia, mau itu bekerja,
makan, minum, mandi, ngobrol, belajar, menikah, mempunyai anak, dan lain
sebagainya sifatnya sepele dan tidak kekal. Apa yang membuat seluruh aktivitas kita
di dunia menjadi “berarti” adalah ketika kita memasukkannya ke ranah akhirat
kita, mempersembahkannya pada Allah sebagai suatu usaha ibadah kita. Ibadah
bukan hanya ritual, kan?. Ya, itu dulu kita harus serap betul betul sampai ke
bagian otak yang paling dalam. Nah, ketika kita terlalu fokus pada pekerjaan
kita yang sulit dan melelahkan itu misalnya, itu artinya kita sedang melupakan
lingkaran besar tadi. Kita seolah terpenjara dalam salah satu lingkaran kecil
itu. Makin terkurung disana, tersiksa, dan tak bisa keluar mencari kebebasan
jiwa. Beda kasus kalau kita menempatkan pandangan kita pada lingkaran besar
itu. Kita akan melihat pekerjaan kita yang sulit dan banyak itu sebagai sebuah
lingkaran kecil yang seolah-olah tidak ada artinya jika dibandingkan dengan
lingkaran besar tadi. Ya, karena pekerjaan kita yang sulit dan berat tadi
memang tidak apa-apanya bagi Allah. Mudah saja bagi Allah memberikan solusi
bagi kita atas hal berat dan melelahkan apapun dalam hidup kita. Kalau kata
Ustadz Adi mah, kalau kita memprioritaskan Allah, maka Allah akan
memprioritaskan kita di tengah masalah-masalah kita. Enak kan kalau perspektif
kita seperti ini?.
Kedua, jangan tangani pekerjaan
sulit dan banyak itu seorang diri, karena kita tidak akan mampu. Kita butuh
Allah, dear. Kalau kita nekad mau
cari solusi dari masalah kita sendirian saja, nggak mau diganggu, sampai lupa
sama Allah dan kewajiban ibadah kita, mau berjam-jam berlalu pun, jalan
keluarnya tidak akan ketemu. Semakin dipaksain, malah semakin membuat pusing.
Semakin dikerjakan, malah semakin membuat sesak. Kalau begini kejadiannya,
tandanya kita kurang tawakkal. Coba ingat lagi bahwa pekerjaan itu amanah dari
Allah. Allah mengamanahkan itu hanya ke kamu, bukan ke yang lain, karena Allah menganggap
kamulah yang mampu dan Dia yang akan membantu kamu sendiri untuk menjalankan
amanah itu sampai tuntas. Tapi, gimana bisa kita berharap Allah bantuin kalau kita
sendiri lupa sama Dia? Makanya, dekat-dekat terus sama Allah dan terus tawakkal
saja. Oke, pekerjaanmu berat tapi kamu nggak sendirian, ada Allah sang Maha
pemberi kemudahan yang semudah-mudahnya mudah yang akan membantumu menangani amanah
itu. Jadi, selama kamu dekat sama Allah, kamu tidak perlu khawatir. Oh, satu
lagi. Tawakkal juga berarti menyadari bahwa segala sesuatu termasuk pekerjaan
itu adalah titipan. Eh iya, saya kan udah bolak-balik bilang tentang amanah ya
tadi hehehe. Nah, karena semuanya titipan, jadi jangan terlalu khawatir kalau
titipannya mau diambil sama yang punya. Bahkan diri kita sendiri juga adalah
titipan yang kapanpun bisa diambil, kan? Makanya, sikapi semuanya dengan
biasa aja, jangan terlalu berlebihan. Kalau besok mati, pekerjaan kita menjadi tidak
ada artinya, bahkan siap digantikan oleh orang lain.
The
last but not least adalah kita harus selalu ingat bahwa Allah adalah Rabb
kita. Rabb berarti Dzat yang selalu memelihara, merawat, mengampuni, memberi
kecukupan dan memaafkan hamba-hambaNya. Allah menjanjikan itu sendiri lho
kepada kita dan kita boleh banget menagih janji itu padaNya di dalam doa kita
ketika mengeluh atas permasalahan-permasalahan yang kita hadapi. Maka, saat
kita terlalu khawatir tentang ini itu atau terlalu patah semangat tentang ini
itu, sebenarnya kita telah melupakan bahwa kita punya Allah yang sayang banget
sama kita. Hmm… manusia memang banyak lupanya.
Usai sudah postingan pertama saya di
Bulan Oktober ini ditulis. Coba deh praktekin yang di atas, insya Allah hidup akan
menjadi terasa lebih ringan dan tulus. Terakhir, meskipun sedang dalam keadaan
yang sangat lelah, ternyata menulis sepanjang lebar ini justru mengobati lelah
saya. Benar-benar the power of hobby.
Ah, coba aja tiap hari saya punya ide buat nulis di sini. Anyway, makasih buat yang udah baca. See you!
Hon
Nurizza
Komentar
Posting Komentar