Kisah Kepompong yang Kukagumi


Pernahkah kamu dan aku sembunyi-sembunyi menaruh rasa ingin tahu?
pada kepompong berwarna coklat tanah yang jelek itu
Pada kempompong yang dalam diamnya sedang berkompromi dengan waktu
Pada kepompong yang sering terabaikan karena kecantikan-kecantikan yang beterbangan di sekitarnya itu

Aku sangat mengagumi kepompong yang satu itu
Karena ia telah melewati berlembar waktu yang tak kalah menyesakkan daripada hari ini
Tapi tak sedikitpun ia mengeluh menyerah mundur
Tetap yakin akan hukum alam yang Tuhan janjikan kepadanya

Hai, kamu?
Maukah kamu mendengar dongeng kehidupan kepompong yang kukagumi itu?

Jika tak mau, tidaklah mengapa
Biar kubisikkan ini pada angin yang sedang diam membeku
Atau pada rintik hujan yang membuat langit menjadi sendu
Atau pada kegelisahan yang mengambang di hatiku
Biar menjadi penghibur dan penguat
untuk mampu bertahan sebentar lagi dan lagi
Biarkan aku tetap bercerita saat ini

Ketika masih telur,
Ia diletakkan persis di ujung daun,
Pernah nyaris sekali jatuh ketika hujan deras mengguncang daun tempatnya bergantung
Pernah hampir terbawa aliran embun yang menetas pada pagi harinya
Pernah sedikit lagi ikut melayang ke bawah bersama daun yang mulai menguning lesu
Tapi dia berhasil menetas beberapa waktu kemudian
Mulai merangkak menjauh demi mencari daun pengganti yang lebih kokoh
Pelan ia melubangi daun-daun muda, mengisi perut kecilnya dengan sebanyak mungkin bekal, agar ia cepat besar, agar cepat tercapai janji kehidupan yang Tuhan beri itu.

Sedikit demi sedikit, ia tumbuh menjadi ulat
Sayang ia bukan ulat yang cantik dan lucu
Bulunya berwarna api yang tajam dan menyakitkan bagi siapapun yang berada di dekatnya
Dia terlihat menakutkan, pantas untuk dijauhi, bahkan untuk dibasmi
Padahal ia tak seburuk itu

Pada suatu hari, ia terlihat begitu ketakutan
Ada makhluk besar yang coba menjadikannya santapan siang
Ia yang begitu kecil memutuskan berlari sejauh mungkin
Tapi tak semudah itu dilakukan, karena ia tak mungkin meninggalkan pohon ini demi janji kehidupan yang hanya terpaut pada pohon ini saja
Akhirnya ia memutuskan untuk bertahan
Susah payah bersembunyi dan tak letih berdoa agar Tuhan membiarkannya tetap hidup
Dengan takjim memohon agar disampaikan pada fase kehidupan yang berikutnya,
Fase perubahan terbesar yang akan menjadi titik balik baginya

Beberapa waktu kemudian,
Ketika semuanya telah siap
Ketika cukup sudah bekal yang ia kumpulkan
Ketika masanya telah tiba
Ulat menyeramkan itu berubah menjadi sebungkus daun kering berwarna coklat tanah
Sama tak mudahnya, kini ia harus bersabar sebentar lagi untuk perubahahan itu
Keyakinannya akan janji itu tak luntur sedikitpun
Justru semakin tegas, semakin kuat, karena keinginannya walau bagaimanapun menjadi semakin dekat

Mungkin kau melihatnya hanya menggantung tak bergerak sepanjang hari
Mungkin kau memprotesnya tentang bagaimana bisa berubah menjadi indah jika tak melakukan apapun
Mungkin kau mencibirnya dibelakang, merasa lebih baik dari apa yang ia sedang lakukan, memandang rendah kepompong itu
Tapi satu hal yang kau lupa,
Kau bukanlah kepompong itu
dan kau tak pernah tau apa yang ia lakukan di dalam sana, tentang janji-janji itu, dan rencana-rencana yang sedang ia genapi

Diamnya di dalam selubung itu adalah simbol dari keyakinannya pada janji Tuhan yang telah memuncak
Tenangnya di kegelapan sana adalah bentuk kesungguhannya mempersiapkan terwujudnya janji itu, agar sayapnya nanti indah dipandang dan kokoh dipakai untuk terbang
Takzimnya dalam memohon di tengah kesendirian adalah sebentuk harapan agar di fase selanjutnya kelak Tuhan izinkan ia menolong bunga-bunga untuk saling menemukan, lalu buah-buah tumbuh meranum dan menyebarkan biji-bijian
Dengan begitu, mereka kan tumbuhkan pohon-pohon baru, yang siap ditinggali telur-telur pengganti dirinya

Lihatlah, betapa mulia misi hidup yang sedang ia hampiri itu
Aku pun turut berdoa dalam diamku untukmu, hai kepompong
Semoga segera sampai engkau pada janji Tuhan yang sangat ingin kau rengkuh itu
Semoga di kehidupanmu yang singkat ini kau mampu menebar kebahagiaan sejati pada apapun yang ada di sekitarmu

Dalam satu dua hal, kamu dan aku mungkin senasib dengan kepompong itu
Sedang berada di fase terendah, tak berdaya, dengan harapan yang melambung tinggi
Meski sulit, tak apa sayang,
Bukankah kepompong itu telah mengajarkan kita untuk mengingat betapa kokoh dan tegar kita menghadapi kehidupan yang tak kalah sulit di masa lalu?
Hingga kini kita sampai masa yang dulu kita sebut sebagai masa depan
Ah, ternyata kamu dan aku tak selemah apa yang selama ini terpikirkan




Hon Nurizza

Komentar