Tentang Guru: Betapa Tidak Mudahnya




         Haalooo, readers. Kali ini saya akan membahas mengenai suatu hal yang sedikit berbeda, tentang betapa tidak mudahnya menjadi seorang guru dari sudut pandang saya. Sebelum itu, kita akan membahas definisi dan ruang lingkup guru yang akan kita bicarakan disini. Guru yang akan kita bahan disini adalah pengajar yang mengajar di sekolah dasar dan menengah saja, baik itu di lembaga formal, seperti sekolah maupun informal, seperti tempat bimbingan belajar. Saya batasi itu saja, sebab pada dasarnya pengajar di playgroup dan taman kanak-kanan, juga dosen yang mengajar di kampus, juga termasuk guru. Dan saya yakin kalo mereka juga punya “tidak mudahnya” sendiri, yang mungkin saja akan kita bahas suatu saat nanti di masa depan. Nah, kalau sekarang, saya akan sempitkan ruang lingkupnya menjadi sebatas pengajar SD, SMP, dan SMA.

            Poin pertama yang akan saya bahas adalah tentang bagaimana mudahnya kita menerima dan betapa sulitnya untuk memberi. Pengalaman saya selama saya jadi siswa dan mahasiswa, saya lumayan sering mengklasifikasikan guru/dosen saya dalam beberapa kategori di benak saya. Kategori terbaik adalah pengajar yang mengajar dengan penuh semangat, sarat pengalaman, tidak hanya berpatok pada buku, dan menginspirasi. Mereka adalah versi pengajar terbaik di muka bumi menurut saya, dan seharusnya semua pengajar harus menjadi seperti mereka. Lucky me, saya menemukan beberapa dari mereka waktu kuliah dan beberapa dari mereka waktu SMA. Kategori sedang adalah mereka yang mengajar dengan rajin, tepat waktu, berpatokan serius pada buku, menjelaskan dengan detail, tetapi hanya saja terkadang terasa membosankan. Yep, tipe kedua ini juga bagus. Saya lumayan suka. Dibandingkan yang pertama, jumlah tipe kedua ini lebih banyak. Kategori terakhir adalah kategori mereka yang mungkin kekurangan atau kehilangan semangat dalam mengajar, ada yang sering tidak mengajar, ada yang sibuk dengan tugas lain yang bukan tugas utamanya, atau ada juga yang cara penyampaiannya monoton, kurang baik, dan tidak tegas, sehingga kondisi kelas menjadi tidak kondusif dan siswa malas mendengarkan. Mengapa saya membuat sistem klasifikasi guru sendiri? Waktu itu, sepertinya saya terlalu menikmati berada dalam posisi “diberi”, tanpa menyadari bahwa berada di posisi guru sebagai “pemberi” adalah tugas yang memang tidak mudah.
         
   Kamu gak percaya?? Yuklah, lanjut baca. 

            Menjadi guru itu pekerjaan yang hasil kerjanya tidak bisa kelihatan dalam sekejap. Sebab, anak-anak yang diajar, akan nampak hasil didikannya lima bahkan sepuluh tahun nanti, tidak sekarang. Makanya, banyak orang yang bilang bahwa guru itu harus sabar dan ikhlas. Mengajar di jenjang yang berbeda pun punya tantangan sendiri-sendiri. Pada dasarnya, permasalahan mengajar di SD, SMP, dan SMA yang pertama adalah ketika siswa-siswanya ribut sendiri di kelas. Pada level ekstrim, seperti di SD misalnya, mereka bisa sampai lari-larian ke luar kelas, berantem, dan lain sebagainya. Nah, kalian pernah nggak sih ngebayangin susahnya guru untuk membuat muridnya nggak rame itu kayak gimana? Karena ternyata susah banget, butuh tenaga ekstra untuk melakukannya, yang bisa berefeksamping pada kurangnya ATP, cairan tubuh, bahkan pasokan oksigen di otak. 

Permasalahan rame, mungkin bisa segera diatasi, tapi gimana dengan menumbuhkan kemauan mereka untuk menyimak materi yang disampaikan? Sebab, ada juga lho siswa yang dateng ke sekolah tapi nggak niat sama sekali untuk belajar. Di kasus ini, ada yang sampai tidur, ada yang mainan sendiri, ada yang melamun, main hape, ngantuk, dan adapula yang kelihatannya memperhatikan, tetapi ketika ditanya, sama sekali tidak tahu. Bayangin deh kamu udah capek-capek nyerocos, tapi mereka kagak paham apa yang sedari tadi kamu omongin. Pasti ada sedikit rasa sedih kan?. Biasanya sih ada triknya untuk yang satu ini. Bisa disiasati dengan punishment, reward, kuiz dadakan, atau cara penyampaian yang berbeda. Tapi you know lah, akan sangat lebih baik kalau kemauan belajar itu dateng sendiri dari diri siswa. Idealnya, Guru harus mencari suatu metode agar siswanya tertarik pada apa yang dibawanya. Dan itu sama sekali tidak mudah. Butuh kreativitas dan kerja keras. 

Permasalahan selanjutnya adalah mungkin saja letaknya di hasil belajar. Setelah ujian, dan hasil nilai siswanya jelek, apa yang harus guru lakukan? Bisa jadi mereka sering mengkatrol nilai siswanya karena tuntutan sana-sini, dan perbuatan itu sebenarnya bertentangan dengan hati nurani mereka. Bisa dibayangin nggak sih betapa serba salahnya semua ini? Guru udah berusaha sebaik mungkin dalam mengajar dan memberi materi, membuat soal yang dirasa mampu diselesaikan siswanya, dan ketika hasil ujian keluar- nilai mereka jelek-jelek (misalnya), lalu mau tidak mau guru harus bikin nilai itu jadi bagus!. Betapa selama ini kita sebagai murid sering banget nyusahin guru pas nilai kita jelek. Pernah berpikiran seperti itu nggak sih? Karena setelah dipikir-pikir, ya benar juga.

            Permasalahan terakhir yang akan kita bahas adalah kehidupan guru. Pendapatan guru PNS memang terbilang lumayan. Tetapi bagaimana dengan guru honorer yang hanya dibayar kurang dari 500 ribu per bulan dengan beban kerja yang bisa jadi sama berat dengan guru PNS?. Beruntung saat ini ada program sertifikasi atau tunjangan guru, yang memungkinkan guru PNS dan honorer mendapat tambahan pendapatan tiap 3-6 bulan dalam setahun. Ya, semoga saja program ini akan tetap ada dan tidak dipersulit syaratnya setiap tahun. Sebab,akhir-akhir ini dengar kabar bahwa ada beberapa guru yang dicabut tunjangannya akibat perubahan persyaratan sertifikasi dari pemerintah tentang jumlah jam mengajar. Secara detail saya memang tidak paham bagaimana kronologinya, tapi bisa dibayangkan nggak sih kalau yang kehilangan tunjangan itu adalah guru honorer yang penghasilannya nggak sampai 500 ribu per bulan? Alih-alih memikirkan bagaimana supaya siswa bisa tertarik dengan materi dan ilmu yang mereka bawa, mereka malah akan dipusingkan dengan cara mendapatkan uang tambahan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. 

Saran saya (seorang citizen dan netizen biasa) untuk pemerintah adalah sadarilah kalau kualitas pendidikan yang buruk itu bukan semata-mata salah guru. Ada juga andil dari sistem pendidikan dan kurikulum yang kurang sesuai dengan perkembangan zaman, atau bahkan kebijakan pemerintah sendiri yang menyulitkan guru memberikan performa terbaiknya dalam mengajar. Semoga saja kedepannya pemerintah lebih mampu membuat kebijakan yang benar-benar bijak dan efektif, juga tidak asal-asalan dan berubah-ubah. Harapan saya, semoga pemerintah dan guru mampu berjalan beriringan (bukanya berhadap-hadapan atau bahkan menuju ke arah yang berbeda) dalam memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.  

Sebagai penutup, profesi menjadi guru itu ternyata sama sekali tidak mudah. Butuh kesabaran dan keikhlasan yang super untuk menjalaninya. Mungkin memang benar jika ada yang bilang bahwa guru tidaklah seharusnya berharap semua muridnya menjadi bisa dan pintar, cukup dengan mengajar, mendidik, dan menjalankan tugas dengan sepenuh hati, ikhlas, dan sabar, lalu tawakal. Untuk semua guru-guru dan dosen-dosen saya, Proud of you so much! Semoga kebaikan beliau-beliau dicatat sebagai amal jariyah yang bermanfaat. Untuk semua readers yang masih menjadi murid, selalu hormatilah siapapun gurumu terlepas dari bagaimana cara dia mengajar, dan belajarlah dengan rajin biar minimal nggak nyusahin gurumu yang harus katrol nilai kamu yang jelek itu (hehe). Juga, semoga kualitas pendidikan Indonesia dapat terus membaik, sebab di usia Indonesia yang ke-100 kelak (dimana akan terjadi bonus demografi), kita akan sangat membutuhkan manusia-manusia cerdas dan baik akhlaknya untuk membawa Indonesia menjadi negara yang besar, mandiri, dan sejahtera!.

“Sekian posting hari ini! See you next time! Thanks, life for this lesson! I learn a lot!” (Hon Nurizza).

Komentar