Sayyidah Aminah, Ibunda Sang Utusan Langit


         


Assalamualaikum, readers. Semoga limpahan rahmat dan hidayah-Nya selalu mengiringi derap langkah kita dalam mengaruhi kehidupan ini. Jaman semakin edan. Banyaknya bencana yang terjadi adalah peringatan. Kita yang hidup haruslah bergegas mencari ampunan, hidayah, dan inspirasi. 

Pada kesempatan kali ini, saya akan berbagi sedikit kisah mengenai seorang wanita mulia yang terhormat nasabnya, elok parasnya, cerdas akal pikirnya, serta terpuji perilakunya. Lewat rahim beliaulah lahir seorang utusan langit yang dengan cahayanya mampu melenyapkan kegelapan di muka bumi, yaitu Rasulullah SAW. Wanita mulia itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sayyidah Aminah binti Wahab. Biografi singkatnya ini berasal dari pengalaman membaca saya dari sebuah buku yang berjudul Aminah, Permata Padang Pasir karya Abdul Salam As-Asyri, yang akan saya coba tuliskan dengan bahasa saya sendiri. 

Aminah diceritakan lahir di Mekkah pada zaman Jahiliyyah, zaman dimana belum diutusnya seorang rasul untuk menyempurnakan akidah yang menyimpang. Pada zaman itu, memberikan persembahan kepada berhala-berhala di sekitaran Ka’bah merupakan suatu hal yang umum. Mereka memang mengakui Allah SWT sebagai tuhannya, tetapi mereka merepresentasikan pengakuan itu dalam bentuk penyembahan patung-patung. Aminah kecil merupakan seorang anak yang sangat menyenangkan dan membuat siapapun yang melihatnya, akan sangat menyayanginya. Aminah kecil yang yatim dirawat oleh pamannya, yaitu Wuhaib yang merupakan salah satu orang terhormat di suku Quraisy. Wuhaib, istrinya, dan anak-anaknya selalui menghujani Aminah dengan kasih sayang. Halah adalah salah seorang anak Wuhaib yang sangat mencintai Aminah, sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. 

Ketika Halah dan Aminah sudah memasuki usia yang cocok untuk menikah, datanglah Abdul Muthalib meminang Halah. Hal itu membuat keduanya harus berpisah rumah. Namun, keduanya masih mengusahakan untuk sering bertemu demi melepas rindu. Ketika itu, banyak sekali lelaki Makkah yang datang untuk berusaha meminang Aminah. Aminah digambarkan merupakan sosok perempuan yang sangat cantik, wajahnya bercahaya, juga memiliki akhlak yang mulia dan pengetahuan yang luas. Akan tetapi, belum ada satu pun yang berhasil mendapatkan restu dari Wuhaib. 

            Di sisi lain, Kota Mekkah juga memiliki Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda tampan, cerdas, dermawan, pemberani, dan berakhlak mulia. Banyak pula perempuan yang menaruh hati padanya. Ketika itu, munculah inisiatif Halah untuk menjodohkan Aminah dengan Abdullah. Singkat cerita, Wuhaib dan Abdul Muthalib juga memiliki niat yang sama. Hanya saja, Abdul Muthalib merasa ragu sebab beliau sudah terlanjur membuat nazar pada Tuhan akan menyembelih satu anak laki-lakinya apabila Tuhan mengaruniakannya banyak anak lelaki. Masa penebusan nazar itu telah tiba. Abdullah adalah nama yang terpilih pada saat pengundian di depan berhala Ka’bah. Abdullah pun tak ragu untuk disembelih Ayahnya. Waktu itu Abdullah dan Aminah sudah memiliki “rasa” yang sama, tapi mereka berdua istimewa, tidak pernah mengumbar hawa nafsu dan hanya menyimpannya saja dalam hati. Mengetahui Abdullah akan disembelih, Aminah tentu sangat amat bersedih dan khawatir. Dia terus menerus berdoa kepada Allah meminta jalan keluar yang baik. 

Singkat kata, Allah memuliakan Abdullah dengan tebusan 100 ekor unta yang disembelih untuk dibagi-bagikan kepada semua orang. Seluruh penduduk Mekkah bergembira dengan kabar ini, apalagi setelah itu Abdullah dan Abdul Muthalib langsung pergi ke rumah Wuhaib untuk melamar Aminah. Ketika mereka menikah, seluruh keluarga dan penghuni kota Mekkah benar-benar diliputi kebahagiaan dan keberkahan. Aminah kemudian pindah ke rumah kecil Abdullah untuk memulai hidup baru. Suatu hari, Aminah bermimpi meengenai sebuah cahaya. Cahaya itu mulanya berasal dari Abdullah, lalu berpindah pada dirinya, kemudian cahaya itu pergi untuk menerangi seisi alam. Aminah bercerita kepada Abdullah mengenai hal itu. Abdullah percaya bahwa arti mimpi tersebut adalah sebuah kebaikan yang besar.

Sebuah kabar besar datang pada hari itu. Kala itu, sudah dekat saatnya para kafilah dagang Mekkah untuk pergi berjualan ke negeri Syam. Abdul Muthalib terpikir untuk mengutus Abdullah agar dia mendapatkan lebih banyak pengalaman hidup untuk menempanya jadi pemimpin besar Quraisy suatu saat nanti. Usia pernikahan mereka baru seumur jagung, tapi sudah mau berpisah saja ckckck. Tapi lagi-lagi Abdullah dan Aminah ini istimewa, mereka tidak sedikitpun menolak keputusan itu. Abdullah yang sempat ragu dan bersedih pun justru diyakinkan dan diteguhkan oleh Aminah. Padahal sebenarnya Aminah sendiri juga sangat bersedih memikirkan perpisahannya dengan suami. 

Kalau kita pikir-pikir, menjalani LDR di masa sekarang itu lebih mudah, karena teknologi transportasi dan komunikasi sudah sangat maju. Kalau LDR versi Abdullah dan Aminah dulu, pengorbanan dan rindunya tidak main-main. Kendaraan yang digunakan adalah unta, medannya padang pasir dengan cuaca ekstrim, perjalanannya bisa satu bulan lebih, belum lagi tidak ada telepon dan internet untuk berkabar satu sama lain (apakah sudah sampai tujuan atau belum, apakah baik-baik saja atau tidak). Aminah siang malam menangis karena rindu pada suaminya. Beruntung ia punya Barakah, budak perempuan dan keluarga yang selalu menghiburnya setiap saat.

Sayangnya, takdir berkata lain. Ketika tiba saat rombongan kafilah dagang kembali ke kota Mekkah, Aminah tidak menemukan Abdullah kembali bersama mereka. Hingga dia mendapat kabar bahwa Abdullah sedang sakit di Yastrib, tidak bisa ikut pulang. Abdul Muthalib mengirimkan saudara Abdullah untuk menghampirinya di Yastrib. Tapi, apa mau di kata, ketika itu takdir sama sekali tidak berpihak pada Aminah. Dia mendengar kabar yang meluluhlantahkan hatinya, suaminya meninggal dunia dan dimakamkan disana. Jangan ditanya lagi betapa sedih Aminah saat itu. Namun, beberapa hari kemudian, di tengah air matanya yang tak kunjung mongering, Aminah merasakan ia tengah mengandung. Aminah seketika teringat dengan mimpinya tentang cahaya itu. Aminah juga terpikir sebuah gagasan bahwa sebenarnya Abdullah telah meninggalkannya untuk sebuah amanah berharga, yaitu membawa cahaya itu ke dunia. Hingga sekarang adalah gilirannya untuk merawat dengan baik amanah berharga itu. Aminah memilih berusaha tegar dan melupakan kesedihannya untuk berkonsentrasi merawat dan menjaga janin di dalam kandungannya. Betapa tegarnya Ibunda kita yang satu ini, ya.

Selama masa mengandungnya, Aminah sama sekali tidak merasakan penderitaan. Beban hidupnya seakan terangkat hilang dan hatinya dipenuhi ketenangan. Berkah dari mengandung bayi yang nantinya akan menjadi utusan langit bagi seluruh umat. Pada saat masa kelahiran tiba, Aminah sangat bahagia bisa melihat Abdullah pada anak laki-lakinya itu, yang diberinya nama Ahmad atau Muhammad, berkat petunjuk dari langit. Ahmad sangatlah tampan dan tubuhnya seolah diliputi oleh cahaya terang. 

Ujian untuk Aminah rupanya belum selesai sampai di sini. Suatu hari, ia merasakan air susunya mengering. Hingga Aminah harus mencari seorang ibu susu untuk Muhammad. Adalah Halimah Sa’diyah, seorang perempuan miskin yang datang dari kampung yang jauh, satu-satunya yang bersedia menyusui Muhammad kecil. Waktu itu Aminah hanyalah seorang janda miskin dengan satu budak dan beberapa ternak, sehingga tidak banyak wanita yang mau jadi ibu susu anaknya. Singkat cerita, Muhammad kecil harus tinggal di kampung, meninggalkan Ibu kandungnya. Lagi-lagi ketegaran Aminah teruji dan sekali lagi terbukti. Dua tahun lamanya, Muhammad kecil menghabiskan waktunya di sebuah kampung bani As’ad.

Singkat cerita, Muhammad kembali ke Makkah untuk dirawat Ibu kandungnya. Hati Aminah teriris ketika Muhammad menanyakan siapa dan dimanakah ayah kandungnya berada. Aminah sangat berharap Abdullah masih hidup dan menyaksikan betapa mengagumkan dan agung putranya itu. Namun, Muhammad adalah sosok yang pandai, tegar, dan menyenangkan sedari kecil. Dia justru menghibur dan menguatkan Ibunya.

Beberapa waktu telah berlalu, hingga Muhammad akan menginjak usia enam tahun. Muhammad kecil sudah tak kuasa menahan rindu kepada ayahnya yang dimakamkan di Yastrib, begitu pula Aminah yang kian hari selalu terpikir Abdullah. Aminah seakan mendapat firasat bahwa sebentar lagi dia akan menyusul Abdullah untuk pergi, meninggalkan Muhammad kecil hidup sendirian. Misinya untuk merawat cahaya itu nyaris usai. Selanjutnya Allah-lah yang akan menjaga dan mendidiknya dengan tanganNya sendiri.

Pada suatu hari, Aminah memutuskan untuk mengunjungi makam Abdullah bersama Muhammad dan Barakah, Mereka berangkat bersama kafilah dagang Mekkah. Setelah perjalanan panjang ke Yastrib, mereka akhirnya tiba diperkampungan Bani Najjar, dimana banyak sekali kerabat dan sahabat yang peduli dan sayang kepada mereka. Di sana, untuk pertama kalinya, Aminah melihat makam suaminya, begitu pula Muhammad, yang akhirnya dapat melihat makam ayah yang sama sekali belum pernah dilihatnya sedari lahir. Aminah menangis lama melepas rindu. Mereka memutuskan untuk tinggal lebih lama di Yastrib. Akan tetapi, keputusan itu diurungkan sebab Aminah mendengar rencana  jahat orang Yahudi yang akan menculik Muhammad karena yakin dia adalah seorang rasul masa depan. Aminah pun juga berulang kali mendengar bisikan dari langit agar segera melakukan perjalanan pulang menuju Mekkah. 

Di sepanjang perjalanan pulang kafilah dagang menuju Mekkah dengan Aminah dan Muhammad bersama mereka, cuaca terasa sangat panas dan angin gurun begitu kencang. Sungguh berat sekali perjalanan kali itu. Aminah merasakan waktunya sudah dekat, dan tiba saatnya bagi dirinya untuk menempuh perjalanan panjang tiada akhir. Dia merasakan sesak yang hebat pada dadanya. Rombongan memutuskan berhenti dan berusaha meredakan sakit yang diderita Aminah, sang putri mulia suku Quraisy itu. Muhammad kecil terlihat begitu khawatir dan sedih atas kondisi Ibunya. Aminah dengan mulut terbata, berpesan kepada Barakah untuk selalu menjaga dan merawat Muhammad, menggantikan dirinya. Aminah berpesan kepada putranya bahwa dia menitipkan sepenuhnya dirinya hanya pada Allah. Dia-lah yang menghendaki Muhammad hidup tanpa ayah dan ibu di usianya yang belia. Dia pula lah yang pasti akan menjaga dan mendidiknya dengan sangat baik. Aminah akhirnya disemayamkan di Al-Abwa’, sebuah tempat di tengah padang pasir yang berjarak sekitar 2 marhalah dari Yastrib. Muhammad kecil menangis hebat dalam pelukan Barakah tidak mau berpisah dari ibundanya. Seorang putri yang mulia itu akhirnya ditinggalkan oleh rombongan kafilah dagang yang hatinya menangis pilu.

Nah, berakhir sudah cerita singkat mengenai kisah hidup Sayyidah Aminah di atas. Betapa ketegaran dan keteguhan hati beliau menjadi inspirasi dan pelajaran yang besar bagi kita. Mulai dari ujian melihat cintanya akan dikurbankan, berpisah dengan suaminya untuk selamanya, membesarkan putranya seorang diri, berpisah dari putranya untuk disusui, hingga tibalah ajal yang lagi-lagi harus memisahkannya dari sang putra tercinta, sudah lebih dari cukup menggambarkan betapa mulia dan istimewa Ibunda kita yang satu ini. Readers, semoga artikel kali ini bermanfaat. Semoga kita pun mampu meneladani beliau dan menjadi muslimah yang tegar, teguh, dan tabah. Oh iya, tentunya kisah lengkap dan detailnya bisa kalian dapatkan sendiri di buku dengan judul yang telah saya sebutkan. Sampai jumpa di seri Wanita Sholihah berikutnya!. Wassalamualaikum!.

Waalahualam bishowab



Hon Nurizza

Komentar