Tentang Biologi Molekuler



Hallo readers, ketemu lagi dengan saya di blog tercintah. Kali ini saya akan membagikan sedikit pengetahuan mengenai bidang yang sangat menarik dan sangat saya sukai. Yap, apalagi kalau bukan Biologi Molekuler? Menurut saya, cabang ilmu biologi paling keren itu ya yang satu ini, Biologi molekuler. Seperti yang kalian tahu, biologi molekuler membahas mengenai interaksi struktur molekuler yang terkandung dalam makhluk hidup, yaitu DNA, RNA, dan protein. Ketiga molekul tersebut saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mendukung fungsi-fungsi yang ada pada suatu organisme. Interaksi ketiganya dapat diingat dengan baik berkat dogma sentra biologi, dimana sekuens DNA template ditranskripsi menghasilkan RNA, tepatnya mRNA yang kemudian mRNA ditranslasi oleh ribosom menjadi peptida-peptida rantai panjang, yang selajutnya membentuk struktur tersiernya agar menjadi protein fungsional. Yap, protein inilah yang menjalankan “fungsi kehidupan” pada makhluk hidup. Enzim, hormon, sitokin, faktor tumbuh, hingga membrane sel, semua ada proteinnya kan?

            Oke, udahan dulu ya prolognya. Readers, ilmu biologi molekuler itu bermanfaat luas banget loh. Dari mulai masalah penyakit genetik dan degeneratif hingga pemuliaan tanaman dan pelestarian biodiversitas hingga bioremediasi lingkungan dan pencemaran lingkungan oleh minyak bumi, semuanya bisa dipecahkan dengan bantuan ilmu ini. Keren kan?. Kecenya lagi, ilmu ini memungkinkan kita untuk merakit organisme agar memiliki sifat-sifat yang kita kehendaki, misal sifat yang menguntungkan bagi manusia. Semua itu buat apa? Tentu aja buat mempermudah kehidupan manusia yang nyatanya makin sulit karena semakin tahun, bumi semakin tua, populasi semakin banyak, serta kualitas lingkungan semakin buruk. So that molecular biology may make us to get better life in the future! Sudah kubilang, keren kan?!

            Oke, jadi post kali ini, saya tidak akan bicara panjang lebar mengenai teori-teori yang dipelajari di biologi molekuler. Akan tetapi, kali ini saya akan sedikit bercerita mengenai aplikasi biologi molekuler di bidang pelestarian biodiversitas dan pemuliaan tanaman, berdasarkan pengalaman saya selama kerja praktik. Anyway, tahukah kalian gambar-gambar keren apa yang ada di atas tulisan ini? Yap, itu adalah gambar pita DNA! “Eh jadi DNA bentuknya kayak itu? Bukan double helix seperti yang diajarin dong?”. Wah, nggak gitu juga! Daripada bingung, mending kita simak dulu yuk paragraf-paragraf dibawah ini!

            Gambar pertama adalah pita-pita DNA hasil dari metode RAPD alias Random Amplified Polymorphic DNA. Pita-pita DNA nya lebih banyak di satu sampelnya karena pada metode ini, genom DNA (seperangkat DNA lengkap yang super panjang dan ruwet itu) diamplifikasi dengan primer tunggal selama PCR (Polymerase Chain Reaction). Karena yang dipakai adalah primer tunggal, yang notabene ngga sespesifik primer berpasangan dalam mengamplifikasi gen, otomatis lebih banyak sekuen DNA yang teramplifikasi. Jadi, primer tunggal tersebut bisa mengamplifikasi banyak sekuen DNA yang komplementer dari suatu genom. Wah, kalo udah gini, kita bisa tahu apa dong? Nah itu, kita bisa tahu polimorfismenya. Artinya, kita bisa tahu variasi gen antar individu alias sampel pada suatu populasi yang sama. Analogikan, beberapa murid yang berada di suatu kelas. Meskipun mereka sama-sama manusia, pasti mereka tetap “berbeda” kan? Itulah yang dimaksud polimorfisme. Jadi, polimorfisme itu dapat diketahui dengan ada atau tidak adanya suatu pita DNA dengan panjang basa tertentu pada beberapa individu pada suatu populasi. Jika pada suatu populasi, terdapat banyak pita DNA yang berbeda, hal itu mengindikasikan bahwa populasi tersebut memiliki keragaman genetik yang tinggi. Populasi inilah yang cocok untuk dijadikan indukan dalam rangka pelestarian biodiversitas sebab populasi yang mempunyai anggota-anggota dengan keragaman genetic yang tinggi akan lebih tahan terhadap perubahan lingkungan sehingga kemungkinan keberhasilan dilakukannya pelestarian menjadi lebih besar. Adapun manfaat lain dari metode ini adalah untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar populasi tanaman yang sama di beberapa tempat yang berbeda. Bisa jadi, tanaman A di tempat X dan tempat Y itu sangat berbeda secara genetic meskipun letaknya berdekatan karena aliran gen antar keduanya dihambat oleh rintangan geografis atau tradisi adat. Bisa jadi pula, tanaman B di pulau X malah memiliki kekerabatan yang dekat dengan tanaman B di pulau Y yang berjarak sangat jauh, sebab adanya aliran gen akibat campur tangan manusia. Poinnya disini, kita dapat mengetahui bahwa peran biologi molekuler dapat berlaku sebagai dasar pengambilan keputusan.

            Gambar kedua adalah pita-pita DNA dari hasil PCR biasa. Kalau kalian amati, satu sampel hanya menghasilkan satu pita DNA saja. Nah, itu terjadi karena DNA diamplifikasi dengan primer berpasangan, sehingga hanya terbaca suatu sekuens spesifik saja yang mewakili gen yang kita inginkan. Salah satu aplikasi dari teknik PCR ini adalah uji homozigositas suatu tanaman transgenik. Apakah gen transgenik yang kita sisipkan pada genom tanaman itu berhasil atau tidak, dapat dideteksi dengan teknik ini. Hal ini berkaitan erat dengan ilmu genetika, dimana ketika suatu tanaman transgenik menghasilkan biji, tidak seluruh biji akan mengandung transgen. Ingat hukum mendel yang pertama bukan? Rasio 3:1? Nah, apabila seluruh sampel pada suatu generasi terbukti memiliki pita DNA yang spesifik ini, maka bisa disimpulkan bahwa populasi itu sudah homozigot. Apabila masih heterozigot, tanaman ini harus ditanam lagi bijinya sampai menghasilkan anakan yang keseluruhannya homozigot, baru bisa menuju ke tahap selanjutnya dari uji-uji tanaman transgenik, seperti uji multilokasi, uji kualitas nutrisi, dan lain sebagainya.  Pokoknya, perjalanan tanaman transgenik sehingga bisa diterima secara luas itu panjang banget dan nggak gampang, sebab bahaya juga kalau ada aliran gen antara tanaman transgen dengan wild type. Yah, meskipun di Indonesia tanaman transgenik masih menimbulkan sedikit banyak kontroversi, belum lagi aturan yang kurang jelas dari badan yang berwenang, saya percaya sih kalau tanaman transgenik itu banyak sekali manfaatnya dan akan sangat membantu manusia mencukupi kebutuhan pangannya di masa depan. Hanya masalah waktu, teknik untuk merekaya tanaman transgen pasti akan terus berkembang menjadi lebih baik, efektif, efisien, sehingga tidak lagi menimbulkan kontroversi seperti ini. Poinnya disini, kita tahu bahwa biologi molekuler berperan dalam level menciptakan, mengeksekusi, menghasilkan (sesuatu yang baru) serta mengevaluasi.

            Pada dasarnya, sebelum molekul DNA dapat dipakai untuk analisis ini itu sehingga dapat menciptakan atau menjadi landasan keputusan ini itu, perlu dilakukan berbagai tahap yang bisa dibilang nggak sederhana. Dari sampel daun/sel/darah/jaringan, harus dilakukan ekstraksi DNA dan purifikasi DNA terlebih dahulu. Ekstraksi DNA dilakukan dengan melisiskan membrane sel dan atau dinding sel terlebih dahulu, kemudian memisahkan DNA dari molekul protein, RNA, dan lain sebagainya, sebelum dilakukan presipitasi dan purifikasi DNA dengan etanol. Ada banyak sekali metode, tetapi yang saya ketahui adalah metode CTAB dan Dellaporta untuk tanaman. Metode CTAB menghasilkan DNA dengan konsentrasi dan kemurnian yang lebih tinggi, tetapi juga membutuhkan waktu yang lebih lama. Metode Dellaporta cenderung lebih praktis, meskipun menghasilkan DNA yang tidak sebanyak pada metode CTAB, kemurnian DNA dengan  metode ini juga tergolong tinggi. Pengukuran kemurnian DNA bisa dilakukan dengan nanofotometer, dimana sampel DNA tergolong murni apabila memiliki rasio 1,8-2,0. Nah, baru deh setelah ini sampel DNA yang dilarutkan dalam buffer/aquades dapat disimpan pada suhu 4 derajat atau langsung dianalisis sesuai dengan kebutuhan.

            Readers, sekian ya apa yang saya sampaikan dalam post kali ini. Semoga dapat memberikan manfaat bagi kalian yang kepo sama biologi molekuler. Ini ilmu yang menurutku keren? Kalau menurutmu apa?



Hon Nurizza

Komentar