Jogja di Bulan Oktober

Mengunjungi Jogja untuk kali kedua di tahun yang sama adalah satu hal yang selalu pantas untuk disyukuri. Bermula dari amanah besar yang dibebankan secara sekonyong-konyong, bayangan tentang tatapan rindu pada rel kereta yang berujung pada suatu tempat nan jauh disana kini menjadi nyata. Bukan turun di stasiun yang itu, kali ini turunnya di stasiun tugu. Sama saja, hanya menorehkan sedikit pengalaman yang berbeda. Sama istimewanya.

Mengunjungi ramainya malioboro, santunnya keraton, megahnya museum merapi, dan indahnya candi prambanan untuk kali kedua di tahun yang sama, menerbangkan angan pada memori lama. 

Ramainya malioboro tidak lagi dilalui dengan rasa lapar habis kena tilang dan oleh-oleh bakpia yang memenuhi kedua tangan, tapi dengan buah tangan jendela dunia yang membuat haus hasrat mereguk ilmu, pikiran yang terbang jauh di salah satu sudut kota ini, serta hati yang sibuk melukis rentetan kata seandainya ku lalui malam itu bersama dia dan mereka. Malam di malioboro waktu itu, bukanlah mata yang kalap akan belanjaan ini itu tetapi hati yang kalap akan kapan terjawabnya mimpi ataukah mimpi itu punya kesepatan bertemu dengan jawabannya?

Santunnya keraton di terik yang menyengat. Ingatan diawal tahun masih melekat kuat. Tempat ini memang tidak banyak berubah. Tidak jauh berbeda dengan kunjungan yang pertama dulu. Hanya saja, dengan manusia-manusia yang berbeda dan kini diiringi dengan pemandu, yang berkisah panjang lebar mengenai setiap sudut dan sisi keraton yang santun ini. Tetapi, pikiran justru tak mau terlalu serius memperhatikan. Lagi-lagi, memori di awal tahun mengambil alih semuanya. Hati mengambil alih kendali, menikmati suasana.

Sepanjang jalan menuju museum merapi juga mengingatkanku pada perjalanan yang sama di awal tahun. Menempuh jarak sejauh itu dengan kendaraan kecil yang pengap dan super lambat hampir di setiap akhir pekan. Lantas turun di pemberhentian terakhirnya, berjalan pelan melewati anggunnya tugu jogja, lalu pergi lagi ke suatu tempat yang diinginkan!. Ah, bagaimana semua itu bisa terasa sangat mengasyikkan? Harapan-harapan itu, semuanya. Juga sepanjang jalan menanjak yang dulu terasa sangat menyeramkan ketika dilalui dengan berjalan kaki di malam hari. Kunang-kunang, suara kodok, deru mesin kendaraan yang melaju cepat, juga kaki-kaki kecil kami yang tangannya menggenggam payung.

Malam yang romantis di candi prambanan yang indah. Ternyata ini adalah purnama kedua yang kutemui di jogja. Duduk di barisan depan. Menonton sendratari yang begitu menawan dengan latar belakang candi prambanan yang kokoh di belakang sana. Malam yang indah dengan temaram lampu yang menguar menyelimuti suasana jogja yang ketika itu habis diguyur hujan. Malam yang panjang. Malam yang penuh rasa takjub dan syukur. Sayangnya, juga malam yang kuinginkan segera berlalu. Begitulah, hati yang terlalu penuh dengan harapan dan angan kadang tak sanggup ditopang oleh fisik. Secuplik kisah tentang Jogja di bulan Oktober, yang harus dibayar dengan istirahat di bawah dinginnya selimut. Tapi aku tetap senang.



Hon Nurizza


Komentar