Mengunjungi
Jogja untuk kali kedua di tahun yang sama adalah satu hal yang selalu pantas
untuk disyukuri. Bermula dari amanah besar yang dibebankan secara
sekonyong-konyong, bayangan tentang tatapan rindu pada rel kereta yang berujung
pada suatu tempat nan jauh disana kini menjadi nyata. Bukan turun di stasiun
yang itu, kali ini turunnya di stasiun tugu. Sama saja, hanya menorehkan
sedikit pengalaman yang berbeda. Sama istimewanya.
Mengunjungi
ramainya malioboro, santunnya keraton, megahnya museum merapi, dan indahnya
candi prambanan untuk kali kedua di tahun yang sama, menerbangkan angan pada
memori lama.
Ramainya
malioboro tidak lagi dilalui dengan rasa lapar habis kena tilang dan oleh-oleh
bakpia yang memenuhi kedua tangan, tapi dengan buah tangan jendela dunia yang
membuat haus hasrat mereguk ilmu, pikiran yang terbang jauh di salah satu sudut
kota ini, serta hati yang sibuk melukis rentetan kata seandainya ku lalui malam
itu bersama dia dan mereka. Malam di malioboro waktu itu, bukanlah mata yang
kalap akan belanjaan ini itu tetapi hati yang kalap akan kapan terjawabnya
mimpi ataukah mimpi itu punya kesepatan bertemu dengan jawabannya?
Santunnya
keraton di terik yang menyengat. Ingatan diawal tahun masih melekat kuat.
Tempat ini memang tidak banyak berubah. Tidak jauh berbeda dengan kunjungan
yang pertama dulu. Hanya saja, dengan manusia-manusia yang berbeda dan kini
diiringi dengan pemandu, yang berkisah panjang lebar mengenai setiap sudut dan
sisi keraton yang santun ini. Tetapi, pikiran justru tak mau terlalu serius
memperhatikan. Lagi-lagi, memori di awal tahun mengambil alih semuanya. Hati
mengambil alih kendali, menikmati suasana.
Sepanjang
jalan menuju museum merapi juga mengingatkanku pada perjalanan yang sama di
awal tahun. Menempuh jarak sejauh itu dengan kendaraan kecil yang pengap dan
super lambat hampir di setiap akhir pekan. Lantas turun di pemberhentian
terakhirnya, berjalan pelan melewati anggunnya tugu jogja, lalu pergi lagi ke
suatu tempat yang diinginkan!. Ah, bagaimana semua itu bisa terasa sangat
mengasyikkan? Harapan-harapan itu, semuanya. Juga sepanjang jalan menanjak yang
dulu terasa sangat menyeramkan ketika dilalui dengan berjalan kaki di malam
hari. Kunang-kunang, suara kodok, deru mesin kendaraan yang melaju cepat, juga
kaki-kaki kecil kami yang tangannya menggenggam payung.
Malam
yang romantis di candi prambanan yang indah. Ternyata ini adalah purnama kedua
yang kutemui di jogja. Duduk di barisan depan. Menonton sendratari yang begitu
menawan dengan latar belakang candi prambanan yang kokoh di belakang sana.
Malam yang indah dengan temaram lampu yang menguar menyelimuti suasana jogja
yang ketika itu habis diguyur hujan. Malam yang panjang. Malam yang penuh rasa
takjub dan syukur. Sayangnya, juga malam yang kuinginkan segera berlalu.
Begitulah, hati yang terlalu penuh dengan harapan dan angan kadang tak sanggup
ditopang oleh fisik. Secuplik kisah tentang Jogja di bulan Oktober, yang harus
dibayar dengan istirahat di bawah dinginnya selimut. Tapi aku tetap senang.
Hon
Nurizza
Komentar
Posting Komentar