Meru Betiri, Mimpi yang Menjadi Nyata

"Sudah kubilang, tumbuh itu rasanya sakit. Dan manusia sejati ingin keduanya. Maka memimpikan resiko kesakitan adalah jawabannya. Satu dari mimpi itu, Alhamdulillah sudah terwujud! Yey!"

20 Februari 2016

Berangkat pukul 16.30 dari kampus fakultas tercinta menaiki bus yang super besar. Larangan dan anjuran selama di tempat tujuan nanti telah disebutkan. Doa keselamatan telah dipanjatkan. Kami sungguh akan menempuh perjalanan yang sangat panjang. Kalau sekarang saya sebutkan, perjalanan kami menuju Taman Nasional Meru Betiri, Jember-Banyuwangi menempuh waktu sekitar 12 jam perjalanan dengan bus dan 6 jam perjalanan dengan truk. Mengapa kami kesana? Untuk melakukan penelitian, karena kami belajar dan menghirup atmosfer kampus scientist setiap hari, kini saatnya bagi kami untuk melangkah lebih jauh lagi, untuk tumbuh.

21 Februari 2016

Berangkat sekitar pukul 05.30 wilayah Banyuwangi, dengan empat truk besar. Udara pagi khas pedesaaan menerpa lembut wajah kami. Pemandangan rumah-rumah penduduk dan perkebunan, juga hutan sengon laut berbaris rapi seolah menyambut kami, mengantarkan kami ke tepat tujuan. Perjalanan selama enam jam berdiri di atas  truk bukanlah hal yang mudah. Jalan yang tidak "manusiawi", menunggangi truk menyebrang sungai, jalan berliuk liuk mengocok perut kosong,  kepala yang harus tetep waspada suapaya ngga nyangkut di ranting pohon atau duri rotan, belum lagi kalau cuaca sedang bimbang sedikit panas sedikit hujan. Itu benar-benar ngga mudah. Tapi tetap seru! Akhirnya, sampailah kami di teluk hijau. It's truly green. Kalau di foto terlihat cukup indah, aslinya sangat amat indah sekali!


Teluk hijau bukanlah tujuan kami. Tujuan kami adalah resort TNMB sukamade. Masih sangat dan menantang. Supir truk kami mungkin sudah terlatih ribuan kali melewati medan berbahaya seperti ini. Jangan bandingkan dengan pembalap F1 soal kehebatannya. Beberapa jam kemudian, sampailah kami di resort sukamade. Tak seperti yang dibayangkan, resort sukamade memiliki beberapa rumah penginapan yang cukup bagus dan mewah. Perjalanan panjang yang melelahkan sedikit terbayar.

Kegiatan kami begitu sampai adalah tracking ke hutan untuk survey tempat penelitian kami. Ada yang tracking di hutan rawa, muara, hutan hujan tropis, hutan lipa, dan hutan pantai. Great! di hari pertama ke sana, kelompok saya langsung berkesempatan mengunjungi pantai sukamade. Kalau boleh jujur, itu pantai terindah yang pernah saya kunjungi. Ombak besar, pasir putih bersih, kepulauan kecil di ujung sana, tebing-tebing hijau yang berbaris rapi! Wow! Masya Allah... Sekali lagi percayalah, aslinya lebih baguus dari pada foto.




22-23 Februari 2016

Kegiatan inti kami di mulai. Masing-masing kelompok penelitian berkonsentrasi penuh dengan objek penelitiannya. Kelompok saya meneliti tentang kelimpahan dan persebaran cabe jawa atau Piper retrofractum yang biasa hidup merambat atau menjalar diatas tanah atau tumbuh di permukan tanah di hutan pantai, rawa, dan area penginapan. Beberapa hal menarik yang absurb yang kami pelajari selama kegiatan penelitian:
  1. Mencari tumbuhan cabe jawa ditengah banyak sekali tumbuhan yang tumbuh acak adalah hal absurb yang saya lakukan. Mulai dari mencocokkan daun hingga mencicipi buahnya. Buah cabe jawa ketika masih muda rasanya seperti rempah jamu. Ketika sudah matang, baru rasanya pedas dengan sensasi jamu yang lebih strong. Dan saya baru tahu -_-. Kegiatan itu sama sekali ngga mudah meski kelihatannya gampang. Saya sampai berpikir akan bikin karya tulis ilmiah yang akan mengupas tuntas khasiat si cabe jawa yang membuat kami hampir gila seperti ini!
  2. Saya dapat satu lagi dosen terinspirastif setelah bapak dosen mikrobiologi yang sudah cukup lama saya kagumi. Beliau mengajarkan kami tentang resonansi dengan alam. Nah, jika ingin menemukan cabe jawa di hutan rimba seperti ini, maka jawabannya adalah beresonansilah dengan cabe jawa. Samakan frekuensi. Dengan kata lain, jadilah lebih peka dan peduli. Resonansi bisa dibangun pula dengan sesama manusia, binatang, apa aja. Omong kosong jika ada yang bilang beliau punya kekuatan gaib. Beliau hanya memiliki kekuatan batin yang kuat dengan alam dan seisinya. He is awesome, isn't he? :')
  3. Cabe jawa pandai berkamuflase. Kami menemukan dua buah tanaman cabe jawa di hutan pantai dan sekitar penginapan yang memiliki morfologi dun yang berbeda. Akan tetapi buah dan rasanya sama. Arhh, kami sempat mengira sudah salah kaprah identifikasi. Untungnya, bapak dosen resonansi itu mau berbagi sedikit pengetahuannya tentang plastisitas dimana dua buah tanaman dari spesies yang sama, morfologinya dapat berbeda karena pengaruh lingkungan dan faktor pertumbuhan yang lain. Saya juga baru tahu yang ini :-). Kalau saya boleh jujur, belajar mata kuliah ekologi sejuta kali lebih asyik kalau langsung belajar dari alam bebas, bukan dari slide polos yag penuh tulisan :')
  4. Setelah beberapa kali berkeliling resort, saya baru tahu kalau pantai sukamade itu memiliki sebutan yang sangat indah yakni pantai penyu alias turtle beach. Pihak TNMB memiliki fasilitas tracking mengamati penyu bertelur, tetapi saya belum memiliki kesempatan untuk itu. Tetapi tak apa, melepas tukik di hari terakhir cukup membuat saya puas. Sebagai penyuka penyu dan kura-kura, tempat ini luar biasa bagi saya.

 

Penelitian kelompok saya selesai pada 23 Feb 2016 sore hari. Tracking ke hutan pantai, hutan rawa, hutan lipa, dan perkebunan karet cukup membuat saya puas. Seminar hasil sebulan lagi, jujur membuat saya ketakutan. Hari terakhir di TNMB membawa kenangan yang cukup indah selain pengetahuan-pengetahuan baru. Kesetiakawanan, komitmen, berbagi, kompak, berkorban, hidup penuh keterbatasan, bersabar, dan banyak sekali pelajaran hidup lain yang ngga bisa digantikan dengan liburan malas di rumah kampung halaman. 

24 Februari 2016

Sebelum pulang, pagi-pagi buta kami menyusuri hutan pantai menuju ke turtle beach, Sukamade. Sunrise yang indah, ombak yang besar, belum lagi, kami akan melepas tukik bersama disini. Kami berbaris rapi menghadap pantai, tukik-tukit di bagikan, kami berfoto riang dan berbincang bersama tukik, membangun resonansi di waktu yang sangat singkat. Penyu hijau yang masih berumur kurang dari sebulan itu masih memiliki plasenta sebagai bekalnya tumbuh. Setelah di lepas ke pantai, mereka berlarian menuju derasnya arus ombak. Ada yang terhempas lalu berusaha lagi mendekati pantai. Seminggu ke depan adalah masa yag paling kritis dalam hidup mereka. Hidup atau mati. Mereka harus menghadapi predator dan bahaya-bahaya lain. Kesempatan hidup hanya 0,0000 sekian persen. Mereka yang selamat pun belum tentu kembali ke sukamade, sebab semua tergantung seberapa kuat memori mereka ketika mereka dilepas ke pantai. 

"Sejak pertama aku melihatnya di tumpukan tukik dalam ember, dia yang paling lincah dan memberontak. Aku mengambilnya dari ember. Menatap matanya, mencoba membangun resonansi dalam waktu singkat. Duh sepertinya gagal. Dia terus memberontak dalam capitan tanganku. Aku menamainya Tukiko. Tukiko berlari kencang begitu menyentuh pasir. Dua kali dia terjerembab dalam cekukan pasir yang cukup dalam. Tetapi dia bisa bangkit dan terus berlari. Menurutku itu  bagus untuk memorinya. Setidaknya, dia akan ingat bahwa perjalanannya menyentuh laut tidak mudah seperti teman-temannya yg lain. Mataku mengantar Tukiko sampai ke tepi pantai, sampai tepat ketika menyentuh lautan. Hoho,,, dia hampir tak ada bedanya dengan yang tukik-tukik lain. Stay Alive and Go Back Sukamade, Tukiko!"


Setelah melepas tukik dan membersihkan hanyutan sampah di area pantai. Kami kembali menempuh perjalanan panjang. Lebih menantang dari sebelumnya. Mulai naik getek sampai kehujanan di dalam bak truk. Sekitar pukul 02.30 keesokan harinya, alhamdulillah kami tiba di Surabaya dengan selamat. Alhamdulillah wa syukurilah, kami banyak belajar dan mendapatkan hal yang baru.

"Kulingkari satu lagi mimpi di tembok kamarku, sambil berharap mimpi-mimpi lain memiliki nasib yang sama. Aku terisi kembali. Puya semangat untuk tumbuh denga segala resikonya".



25 Februari 2016

Hon Nurizza

Komentar